Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah |
Pemohon Uji Materi yang diwakili beberapa Kantor Pengacara dari Bandung dan Jakarta tersebut bergabung dalam sebuah koalisi yang diberi nama "Koalisi Tolak Bakar Sampah" yang terdiri dari unsur perorangan dan lembaga (NGO). Presiden harus mencabut kebijakan PLTSa tesebut karena Kontra Regulasi Sampah UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Kebijakan ini pula jelas akan mematikan Kelompok Pengelola Sampah atau Bank Sampah atau Industri Daur Ulang yang sudah ada, disamping merusak kesehatan dan juga berbiaya tinggi (berbasis konglomerasi) dan membuka peluang baru #KKN.
Perpres 18/2016 tsb sangat jelas bertentangan dengan regulasi sampah khususnya Pasal 13 UU.18/2008 dimana pengelola kawasan wajib mengelola sampahnya (sampah harus dikelola di sumber timbulan sampah).
Langkah "kelola sampah" cerdas dan stratejik adalah #KelolaDiSumberTimbulan (desentralisasi) ini paradigma baru sesuai regulasi. Amanat Perpres 18/2016 sangat jelas kembali ke paradigma lama (sentralisasi), amanat perpres jelas pola sentralisasi karena membutuhkan minimal 1000 Ton/hari. #Publik harus fahami pula disitu. Jadi #TolakBakarSampah tersebut bukan hanya memandang satu sisi #BakarSampah akan merusak kesehatan atau membunuh secara pelan (masalah kesehatan jelas yang paling utama), namun #KoalisiTolakBakarSampah ini juga memandang sisi lain, termasuk akan mematikan usaha-usaha kelola sampah termasuk Kelompok Pengelola Sampah (KPS), Bank Sampah (BS) yang ada saat ini, pasti akan mati. PLTSa pula berbiaya tinggi dan menguntungkan pengusaha besar (konglomerasi). Banyaklah dampak negatif dari Perpres 18/2016 ini, jadi jelas Mahkamah Agung harus memutuskan atau merekomendasi untuk pencabutan.
Perlu pula diketahui bahwa untuk antisipasi volume sampah sangat jelas dalam Permen PU. No.3/PRT/M/2013 mengamanatkan pembangunan Control Landfill (Kota Sedang Kecil) dan Sanitary Landfill (Kota Besar dan Metropolitan), Kenapa bukan dikembangkan Pola Landfill yg jelas #RamahLingkungan. Lihat Korea Selatan di TPA Sundakwon menerapkan Sanitary Landfill 8 Tingkat (sesuai pantauan langsung di TPA Sundakwon Korea Selatan, April 2016 oleh penulis yang juga sekaligus pemohon uji materiil ini ke MA, kenapa tidak adopsi Korsel dan kenapa harus adopsi Singapore misalnya yang jelas2 sampah Indonesia berbeda karakteristiknya dgn sampah Luar Negeri (termasuk Singapora). Sampah Indonesia umumnya (70-80% organik) jenis organik basah tinggi, jadi sangat tidak cocok dengan teknologi incenerasi (biaya operasional pasti besar).
Pengembangan EBT dengan Biodigester
Kalau alasan pemerintah untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis sampah. Bukan pula pola Incinerator atau Termal (bakar sampah) sesuai rencananya tersebut. Tapi #Solusinya adalah Pola Gasifikasi Biodigester tanpa pembakaran (sampah masuk biodigester keluar Gas, lalu Gas menggerakkan Generator (output listrik). Teknologi ini sdh ada di Indonesia dan diproduksi dengan Teknologi Tepat Guna oleh anak bangsa sendiri. Malah pemerintah melalui BPPT sendiri memproduksi alat ini (Tanpa impor). Intinya PLTSa by Perpres 18 Tahun 2016 tersebut berbiaya tinggi disamping juga memerlukan biaya ekspedisi angkutan sampah yg tidak sedikit (jelas tidak orientasi ekonomi) peluang korupsi lagi disini. Cegah korupsi dengan mencabut Perpres 18 Tahun 2016.
Solusi sampah sebenarnya bukan di Hilir (TPA, Sungai, juga PLTSa) Tapi solusi ada di Hulu (sumber timbulan). Kenapa di luar negeri pemerintah berhasil kelola sampah karena "penekanan" pengelolaan di Hulu (warga ahirnya disiplin). Sebenarnya sampah bila dikelola di Hulu, hampir tidak ada tersisa paling tinggi 5% terbuang ke Landfil TPA atau Landfill B3, itupun mungkin dari Sampah B3 saja. Sementara banyak sampah B3 yg dulunya dibakar sekarang tidak perlu lagi. Misalnya sampah bekas #perban #softex dsb di Rumah Sakit dan sejenisnya... ini bila di dekomposisi dgn mikroba selama 5-7 hari bersama sampah organik, bisa dijadikan media tanaman hias dsb. Jadi di Rumah Sakit sungguh tidak butuh lagi incenerator seperti yg ada saat ini (itupun mangkrak, karena umumnya sampah Rumah Sakit sudah laku "laris manis" terjual dan/atau terbeli oleh Industri berbahan baku sampah plastik> DUP).
------->
#Noted: Perlu publik ketahui Basic amanat UU.18/2008 dan PP.81/2012 adalah Pengelolaan Sampah Berbasis Komunal Orientasi Ekonomi. Maka jelas dgn adanya PLTSa ini yg membutuhkan sampah min 1000 Ton/hari akan bertentangan dgn UU tsb. karena pengelolaan sampah kembali secara konvensional (sentralisasi). Seharusnya (sejak UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah) diberlakukan, maka pengelolaan sampah harus bertumpu kepada masyarakat (sebagai pengelola) berbasis komunal dengan orientasi ekonomi (artinya sampah harus dilihat sebagai sumber ekonomi baru).
Catatan: Kalau Presiden Jokowi tetap akan memberlakukan Perpres 18/2016, sebaiknya revisi atau cabut semua regulasi sampah yang ada baik itu UU, PP dan/atau permen2 yg ada. Karena semua regulasi sampah yg ada kontraproduktif dgn Perpres tsb. Postingan ini sekaligus menanggapi Tulisan di Web InSWA dengan judul "Polemik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)" agar supaya masyarakat bisa menilai siapa yang benar dan siapa yang keliru. Mari kita memberi pencerahan yang positif dan obyektif kepada masyarakat. Pesan akhir untuk Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa ingat #RevolusiMental
Best regards,
Owner Posko Hijau Google Blogs
Print this page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.