Memperkuat Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Mitigasi Bencana
By; Daniel Mangoting. Berita Bumi
Bencana tanah longsor kembali terjadi pada Jumat dinihari tanggal 10 Juli 2009 di kampung Cijeruk RW 4 RT 1, Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Korban meninggal 5 orang, 1 orang luka parah dan 3 rumah rusak berat tertimpa longsoran tanah. Penyebab longsor dipicu pengisian air pada sebuah empang (kolam ikan) milik warga setempat yang berada di atas lokasi rumah yang tertimpa longsor.
Berdasarkan studi kerentanan bencana yang dilakukan Elsppat di 12 desa di Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Cigombong pada bulan Februari - Juni tahun 2009, lokasi kejadian tersebut (RW 4 RT 1, Desa Palasari) telah diidentifikasi sebagai salah satu titik lokasi pemukiman dengan kerentanan tanah longsor tinggi. Hal ini karena letak pemukiman di daerah tersebut (termasuk 3 rumah yang tertimpa longsor pada kejadian tanggal 10/7/09) letaknya berada pada daerah tebingan dengan kemiringan tinggi. Pemukiman di lokasi tersebut juga mempunyai tingkat kepadatan rumah yang tinggi.
Dalam konteks penanggulangan bencana, pembelajaran apa yang dapat kita ambil dari kasus bencana tanah longsor di Desa Palasari? Lalu, bagaimana upaya masyarakat di daerah dengan tingkat kerentanan longsor tinggi dan para pemangku kepentingan untuk menanggulangi ancaman bencana tersebut agar kasus serupa yang memakan banyak korban itu tidak terjadi lagi di masa depan?
Bencana tanah longsor di Desa Palasari tersebut sebetulnya hanyalah gunung es dari sekian banyak ancaman bencana yang akhirnya menjadi kenyataan. Ancaman tanah longsor masih mengintai banyak desa di kawasan Gunung Salak, terutama di Kabupaten
Berdasarkan hasil studi kerentanan bencana yang dilakukan Elsppat di 12 desa di Kecamatan Cijeruk dan Cigombong pada bulan Februari- Juni tahun 2009, setidaknya ada sekitar 37 kampung (tersebar di 7 desa di Kecamatan Cijeruk dan 5 desa di Kecamatan Cigombong) yang mempunyai titik-titik lokasi yang bisa digolongkan sebagai daerah dengan tingkat kerentanan tanah longsor yang tinggi. Titik-titik tersebut mencakup lokasi yang merupakan pemukiman, lahan pertanian, areal penambangan galian C (pasir batako, batu dan pasir) dan bekas areal penambangan galian C.
Kasus longsor di Desa Palasari merupakan longsor yang menimpa pemukiman warga yang terletak di bawah tebingan dengan kemiringan tinggi. Berdasarkan hasil studi Elsppat di 12 desa di Kecamatan Cijeruk dan Cigombong, letak pemukiman (rumah) warga desa yang berada pada daerah (di atas dan atau di bawah) tebingan dengan kemiringan tinggi ditemukan di semua desa (12 desa) yang menjadi lokasi studi. Pemukiman yang terletak di lokasi yang demikian dapat digolongkan sebagai daerah dengan kerentanan tinggi terkena longsor. Kondisi ini menunjukkan kenyataan dimana ada banyak kelompok masyarakat yang rentan dan terpaksa berada dalam kondisi yang tidak aman.
Pembangunan rumah di areal tebing atau di dekat tebing secara tata ruang sebetulnya tidak disarankan karena berisiko tinggi terkena longsor. Apalagi jika struktur tanah di lokasi tersebut tergolong labil maka tingkat risiko longsor akan semakin tinggi. Kalaupun pembangunan (rumah) tetap akan dilakukan, seharusnya berdasarkan kajian teknis untuk melihat sejauh mana jaminan tingkat keamanan rumah tersebut dari ancaman longsor. Berdasarkan kajian tersebut, akan ada rekomendasi mengenai kelayakan pembangunan tersebut dan prasyarat-prasyarat apa yang harus dipenuhi sebelum atau saat dilakukakan kegiatan pembangunan.
Penyebab tanah longsor di lokasi pemukiman warga dalam kacamata penulis lebih banyak terkait dengan persoalan pengaturan tata ruang di tingkat lokal (desa/kampung), khususnya yang terkait dengan pengaturan pemukiman. Faktor penyebab lain yang sering dijadikan kambing hitam bencana longsor sebetulnya lebih merupakan pemicu yang mempercepat terjadinya bencana, tapi bukan penyebab pokoknya. Misalnya adanya hujan deras sebelum terjadi longsor atau dalam kasus longsor di Desa Palasari yang diberitakan sebagai penyebab longsor oleh media
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebetulnya telah mengatur tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi: pra-bencana, tanggap darurat (saat terjadi bencana); dan pasca bencana (pasal 33). Untuk situasi di suatu daerah di mana terdapat potensi terjadinya bencana (tingkat kerentanan bencana tinggi) maka pada tahap pra bencana, penyelenggaraaan penanggulangan bencana yang perlu dilakukan meliputi : kesiap-siagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana (pasal 44 UU No. 24/2007).
Kenyataan saat ini, upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dan para pemangku kepentingan lebih banyak berada pada tahap tanggap darurat dan pasca bencana. Adapun upaya pada tahap pra bencana jarang sekali terdengar bahkan tidak pernah dilakukan baik oleh masyarakat maupun para pemangku kepentingan yang terkait dengan penanggulangan bencana. Masyarakat dan para pemangku kepentingan umumnya baru sadar dan bertindak ketika bencana sudah terjadi. Hal ini menunjukkan masih kuatnya paradigma bantuan/tanggap darurat dalam penanggulangan bencana baik di tingkat masyarakat maupun para pemangku kepentingan.
Untuk konteks daerah-daerah yang berpotensi mengalami bencana tanah longsor, perubahan pertama yang diperlukan di tingkat masyarakat dan para pemangku kepentingan adalah adanya transformasi paradigma yaitu dari paradigma bantuan/tanggap darurat ke paradigma mitigasi . Paradigma mitigasi dalam penanggulangan bencana berarti penanggulangan bencana difokuskan pada pengenalan daerah rawan ancaman bencana dan pola perilaku individu/masyarakat yang rentan terhadap bencana. Mitigasi bencana secara sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
Dalam konteks pengurangan risiko bencana, mitigasi bencana dapat juga dipahami sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat yang berada pada kawasan rawan/berpotensi bencana untuk menghilangkan atau mengurangi akibat dari ancaman bencana dan karenanya juga mengurangi tingkat bencana. Mitigasi terhadap ancaman bencana dapat dilakukan misalnya melalui intervensi dalam pembuatan struktur bangunan. Mitigasi terhadap pola perilaku yang rentan dapat dilakukan misalnya melalui relokasi pemukiman, peraturan-peraturan bangunan dan penataan ruang.
Dalam konteks pengurangan risiko bencana tanah longsor di pemukiman warga, menurut hemat penulis, upaya mitigasi yang perlu dikedepankan adalah penataan ruang di tingkat lokal (tingkat kampung atau tingkat desa) dengan mitigasi bencana sebagai salah satu perspektifnya. Sebetulnya, untuk tingkat daerah kabupaten, sudah ada acuan penataan ruang yang dinamakan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten.
Namun dalam kenyataannya, RUTRW seringkali tidak efektif dalam implementasinya di tingkat lokal (desa). Kenyataan yang sering terjadi adalah pelanggaran RUTRW dimana-mana. Kalaupun RUTRW tidak dilanggar yang terjadi adalah penyesuaian (revisi) RUTRW demi kepentingan pihak-pihak tertentu (terutama pihak investor yang hendak mengembangkan suatu wilayah). Akibatnya, kualitas lingkungan setempat semakin rusak, daya dukung lingkungan dari suatu wilayah semakin rendah, serta konservasi sumber daya alam tidak berjalan.
Bagaimana melakukakan penataan ruang di tingkat local? Komunitas masyarakat lokal dan pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk melakukan penyusunan rencana tata ruang lokal dan pengendalian tata ruang lokal. Idealnya proses tersebut dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Lewat proses penyusunan rencana tata ruang lokal berperspektif mitigasi bencana setidaknya dapat tercapai beberapa hal.
Pertama, dapat diidentifikasi di mana lokasi-lokasi pemukiman yang mempunyai tingkat kerentanan longsor yang tinggi. Lokasi yang demikian bisa dianggap berbahaya untuk tetap dijadikan pemukiman. Sehingga kemungkinan untuk melakukan relokasi (pemindahan) terhadap rumah-rumah/bangunan yang sangat rentan terkena longsor, perlu dipertimbangkan dengan berbagai alasan.
Kedua, dapat dibuat aturan bersama mengenai lokasi/kawasan yang masih layak untuk dijadikan kawasan terbangun (dengan berbagai fungsinya) dan lokasi/kawasan yang tidak layak/tidak aman (sehingga tidak disarankan/dilarang) untuk dijadikan kawasan terbangun. Misalnya kawasan/lokasi mana yang bisa diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman penduduk, kawasan
Ketiga, dapat dibuat aturan mengenai zonasi untuk areal pemukiman, areal untuk kegiatan produksi (kawasan budidaya) masyarakat lokal (seperti lahan pertanian, peternakan, perikanan, areal penambangan/galian), serta areal/kawasan yang berfungsi lindung (daerah tangkapan air, mata air dan sebagainya). Aturan zonasi lokal ini juga dapat menjadi alat untuk mengendalikan/menghambat masuknya pihak-pihak luar yang akan melakukan pengembangan kawasan atau investasi tertentu yang cenderung meningkatkan resiko bencana seperti perusahaan pengembangan perumahan/kawasan wisata atau perusahaan air yang melakukan eksploitasi sumber air di pedesaan.
Hasil dari proses penyusunan rencana tata ruang lokal adalah adanya Rencana Tata Ruang Desa/Kampung yang akan menjadi acuan yang sifatnya mengikat bagi semua warga desa. Rencana ini dapat dijadikan dokumen legal dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes).
Yang terakhir dan terpenting, proses penyusunan rencana tata ruang lokal ini mensyaratkan adanya kesiapan dari masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan untuk masuk ke dalam suatu proses yang baru yaitu proses partisipasi multipihak. Proses ini didasari atas paradigma bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, masyarakat setempat harus ditempatkan sebagai pelaku (aktor) utama bukan sekedar korban atau objek penderita seperti yang selama ini selalu terjadi.
Penulis adalah Direktur Eksekutif ELSPPAT, sebuah organisasi non pemerintah berbadan hukum perkumpulan yang bergerak dalam upaya penguatan masyarakat perdesaan dan pertanian berkelanjutan, berbasis di kabupaten
Alamat:
Jl. Kalasan No. 15 Perum Cimanggu Permai I,
Telp/Fax. Kantor: 0251-8323089
Mobile phone : 0813-1607-6465
Email: daniel-mangoting@elsppat.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.