Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi pertanian dan ekonomi. Dengan adanya praktek privatisasi Negara dan rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur produksi, konsumsi dan distribusi disektor pangan, saat ini sector pangan kita dikuasai oleh segelintir korporasi raksasa. Pada intinya petanilah yang menjadi korban, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil panen yang tidak seberapa.
Krisis pangan juga disebabkan oleh Liberalisasi kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Pemerintah terkesan masih setengah hati untuk menyelamatkan pertanian dalam negeri, hal ini terlihat dari kebijakan – kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada petani, jika pemerintah serius untuk memajukan perekonomian dalam negeri maka pembenahan yang pertama harus dilakukan adalah disektor pertanian sebab sebagian besar penduduk Indonesia bergantung dari sector ini. Biaya produksi yang terlalu tinggi dan hasil panen yang tidak memadai, pajak yang terlalu tinggi, masalah air menjadi kendala petani kebanyakan, lebih – lebih sekarang pemerintah Indonesia sudah menandatangani perdagagangan AFTA yang sangat berpeluang untuk menghancurkan sector pertanian sebagai secktor penghasil pangan kita dikarenakan masuknya barang2 luar yang harganya pasti lebih murah.
Bali sendiri sudah mengalami kerawana panganan yang disebabkan meningkatnya kebutuhan beras tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi beras. Pada 2004, jumlah produksi beras yang dihasilkan oleh seluruh petani Bali mencapai 498.224 ton atau mengalami penurunan sebesar minus 0,62 persen dari tahun 2003. Sedangkan konsumsi beras yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali tahun 2004 mencapai 396.618,87 ton atau mengalami peningkatan sebesar 0,29 persen dari tahun 2003 yang mencapai 395.460 ton.
Untuk itu pemerintah Bali harus segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi yang boros lahan dan boros sumber daya alam. Pada saat jeda dilakukan, kegiatan pembangunan lebih diarahkan pada penyelesaian konflik agraria dan konflik perebutan sumber daya alam; melakukan evaluasi atas daya dukung dan daya tampung Bali; melakukan penataan kerusakan sendi kehidupan dan lingkungan hidup akibat kesalahan pengelolaan tanah Bali selama ini; dan menyusun cetek biru pembangunan Bali kedepan yang lebih baik, adil dan berkelanjutan dengan pendekatan bio-regionalisme.
Pada saat jeda, kegiatan pembangunan juga dilakukn dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan (konservasi) lahan produktif untuk menjamin ketersediaan pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Bali. Kebijakan tersebut memuat antara lain pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi lahan pertanian di wilayah konservasi yang dimiliki oleh petani kecil, mendorong pertanian berkelanjutan dengan meninggalkan pertanian berbasis agrokimia dan transgenik menuju pertanian organik; melakukan perlindungan kawasan ekologi genting Bali, yakni kawasan hutan, danau, daerah aliran sungai, pesisir dan pulau-pulau kecil Bali. ( Andy_Walhi Bali )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.