Otonomi Daerah dan Kerusakan Alam
Desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah bukan hanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tapi juga menuntut pemerintah daerah lebih kreatif guna meningkatkan PAD (Pendapatan Asli daerah) sebagai akibat dicabutnya subsidi dari pemerintah pusat.
Berpijak dari sini, banyak kalangan yang mengkhawatirkan diabaikannya masalah pengelolaan lingkungan oleh pemerintah daerah demi meningkatkan PAD mereka melalui berbagai upaya yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimilikinya tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian ekologinya.
Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan melihat kondisi para elit politik di daerah-daerah belum tentu memiliki visi pembangunan daerah yang berkelanjutan. Fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan berkelanjutan ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah ketika era sentralisasi masih berlaku di negeri ini. Apalagi sampai saat ini, banyak kalangan pemerintah daerah yang masih terpengaruh euphoria otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada mereka, karena itu, pembangunan daerah dengan pendekatan yang berkelanjutan mungkin masih jauh dari perhatian mereka. Yang ada dibenak mereka adalah bagaimana sebanyak mungkin menghasilkan pendapatan yang besar dengan memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki daerah.
Kekhawatiran itu nampaknya menjadi kenyataan. Kenyataan yang mengemuka pada masa-masa awal perjalanan otonomi daerah adalah justru berbagai kasus eksploitasi lingkungan dan potensi sumber daya alam di daerah. Demi mengejar target peningkatan PAD, daerah seakan berlomba mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang dimiliki tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian ekologinya.
Meskipun kerusakan lingkungan telah lama terjadi di
Pemahaman terhadap otonomi daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera. Keterbatasan sumber daya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa pemerintah daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan/atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumber daya alam yang tersedia, dan lain-lain.
Selain semakin buramnya prospek pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah ini karena tuntutan untuk meningkatkan PAD, muncul juga fenomena desentralisasi korupsi. Kalau dimasa orde baru korupsi tersentralisasi di pemerintah pusat, sekarang telah merembet ke daerah-daerah dan menghasilkan apa yang dikalangan masyarakat disebut sebagai korupsi berjamaah. Akhirnya tujuan memakmurkan rakyat melalui otonomi daerah sepertinya jauh panggang dari api. Yang tercipta hanyalah kemakmuran pribadi dan golongan elit pemerintah daerah.
Pemda harus menyadari bahwa pengelolaan lingkungan yang baik akan melahirkan kualitas lingkungan yang baik dan sehat. Kualitas lingkungan yang baik dan sehat baru akan menjadikan masyarakat menjadi sehat dan pada akhirnya akan menciptakan pemerintah daerah yang kuat. Apapun alasannya, pemda dalam membuat sebuah kebijakan harus menjaga kesehatan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekositem dan keberlangsungan ekologi di daerahnya. Selama ini kebijakan pemerintah daerah dan keinginan masyarakat lebih banyak menekankan sisi ekonominya dan mengabaikan sisi sosial dan ekologi lingkungan
Para Bupati menjelma menjadi raja-raja kecil dan DPRD yang sebenarnya menjadi pengawas malah ikut menerjunkan diri dalam kekuasaan sehingga praktis pemerintah tidak ada yang mengontrol. Inilah yang melahirkan kesewenang-wenangan di daerah dan pemerintah daerah lebih sibuk mengurus dirinya sendiri sehingga rakyat terabaikan. Memang, kenapa semua ini terjadi sebagai salah satu akibat meningkatnya kekuasaan legislative maupun eksekutif di daerah. Hal itu dimungkinkan karena dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah, dewan memiliki hak besar untuk mengatur anggaran. Tapi, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Perlukah undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut di amandemen? Ini merupakan pertanyaan sekaligus perlu dijawab dengan bijaksana oleh anggota DPR-RI yang akan dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009, yang tentu jawabannya yang ditunggu masyarakat adalah berupa amandemen undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut. Mari kita tunggu janji para anggota parlemen. Akankah menepati janjinya terhadap masyarakat yang memilihnya ? Semoga.
[rul_17viii09.Lingkungan_Otonomi Daerah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.