Perubahan
iklim merupakan isu yang urgent untuk diatasi. Kalau perubahan iklim
timbul dari hubungan sebab-akibat antara efek rumah kaca dan pemanasan
global maka keberlanjutan bisnis perbankan juga merupakan hubungan
sebab-akibat antara perilaku bisnis dan lingkungan. Sebagai motor
penggerak roda perekonomian negara maka perbankan dalam era perubahan
iklim layak memberikan kontribusi optimal.
Perbankan perlu beradaptasi secara
interdependensial dengan lingkungan sebagai cara untuk memenangkan
persaingan pasar sekaligus turut melestarikan lingkungan. Mengapa
demikian? Karena perbankan tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang
memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupun
lingkungan hidup yang lestari.
Bank yang memiliki “value”,
paripurna dan “berpahala” adalah bank yang benar-benar peduli pada
lingkungan dan masyarakat. Kepeduliannya bukan bersifat ad-hoc atau
parsial tetapi menjadi “value” korporasi yang terintegrasi mulai dari
visi-misi hingga ke strategi bisnisnya. Pendek kata, ruh bisnis
perbankan harus bergandengan tangan dengan pembangunan berkelanjutan.
Namun perbankan tidak bisa berjalan begitu saja tanpa adanya regulasi
Bank Indonesia sebagai guidance menuju ke bisnis yang sustainable dan
ramah lingkungan.
Regulasi pada Aspek Lingkungan
Bank
Indonesia memiliki banyak sekali regulasi yang mengatur dunia usaha
perbankan namun belum memiliki regulasi yang komplit pada aspek
kelestarian lingkungan. PBI No.7/2/PBI/2005 hanya berbicara sedikit
tentang aspek lingkungan khususnya Pasal 11 ayat 1 perihal penilaian
terhadap prospek usaha dengan meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen dimana huruf e berbunyi: upaya yang dilakukan debitur
dalam rangka memelihara lingkungan hidup. PBI ini belum cukup memadai
sebagai petunjuk agar perbankan berkontribusi pada usaha-usaha
pelestarian lingkungan. Alangkah lebih baik apabila BI dan Pemerintah
membuat semacam mapping proyek-proyek hijau termasuk potensi bisnis di
bidang maritim dan biodiversity sehingga perbankan memiliki arah yang
jelas untuk menuju sustainable bank.
Di
lain pihak BI dan Pemerintah dapat membentuk semacam forum “sustainable
banks” untuk menjembatani berbagai peluang dan hambatan dalam bisnis
yang lestari. Sebagai langkah motivatif, BI tidak perlu sungkan untuk
membuat semacam insentif bagi perbankan yang serius dan konsisten
menggeluti sustainable business. Nyatanya hingga saat ini belum ada satu
bank nasional pun yang telah mendeklarasikan dirinya menjadi “green
bank”. Di tingkat dunia antara lain HSBC dan ANZ yang telah menerapkan
prinsip “sustainable business”.
Sebagai
perbandingan, pada bulan November 2007 China mengeluarkan regulasi yang
dibuat oleh CBRC (China’s Banking Regulatory Commission) yang mengatur
“Guidelines on Credit Underwriting for Energy Conservation and Emission
Reduction”. Dalam regulasi ini CBRC juga memasukkan katalog yang memuat
sektor-sektor usaha mana saja yang layak untuk dibiayai oleh perbankan
dalam kaitannya dengan aspek lingkungan. Jadi jelas sekali panduan bagi
perbankan China sehingga mereka tidak kebingungan untuk terjun dalam
bisnis yang ramah lingkungan. Sementara dari sisi internasional, telah
banyak regulasi yang memuat praktek-praktek bisnis perbankan yang ramah
lingkungan yakni a.l: UN Global Compact, Equator Principle (Project
Finance), Principles for Responsible Investment (UN-PRI) dan Global
Reporting Initiative (GRI).
Disamping
itu, untuk menunjang kapabilitas dalam menyalurkan kredit atau pinjaman
terhadap proyek-proyek berbasis sumber daya alam maka pihak perbankan
harus menerapkan sejenis tools manajemen seperti ESRM (Environmental and
Social Risk Management). ESRM ini merupakan salah satu panduan
kelayakan kredit melalui klasifikasi risiko dan dampak dari suatu proyek
yang akan didanai oleh perbankan terhadap keberlangsungan lingkungan
dan sosial-masyarakat.
Green banking Indonesia: Menuju Sustainability
Akibat
illegal logging, deforestasi, serta kesemrawutan lanskap kota membuat
perubahan iklim begitu fenomenal. Fenomena ini seharusnya tidak membuat
perbankan tinggal diam. Menjadi green bank bukan sekedar menjalankan
aktivitas “Go Green”. Menurut Bank Dunia, Green Bank adalah suatu
institusi keuangan yang memberikan prioritas pada sustainability dalam
praktek bisnisnya. Pada pemahaman ini green banking bersendikan empat
unsur kehidupan yakni nature, well-being, economy dan society. Bank yang
“hijau” akan memadukan keempat unsur tadi ke dalam prinsip bisnis yang
peduli pada ekosistem dan kualitas hidup manusia. Sehingga pada akhirnya
yang muncul adalah output berupa efisiensi biaya operasional
perusahaan, keungulan kompetitif, corporate identity dan brand image
yang kuat serta pencapaian target bisnis yang seimbang. Green banking
merupakan sebuah strategi bisnis jangka panjang yang selain bertujuan
profit juga mencetak benefit kepada pemberdayaan dan pelestarian
lingkungan secara berkelanjutan.
Adaptasi
bisnis perbankan dapat dilakukan pada sisi lending, funding dan
services. Untuk sektor pembiayaan proyek-proyek ramah lingkungan maka
perbankan dapat memulai pada pengembangan energi terbaharukan. Hal ini
untuk mengantisipasi konsumsi energi listrik yang sudah memasuki fase
krisis di negeri ini dan mengalami defisit hingga 10.000 MW. Oleh
karenanya kita perlu menggali potensi renewable energy dalam skala
besar, yakni energi geothermal (panas bumi) dimana Indonesia memiliki
potensi panas bumi terbesar di dunia hingga 27 Giga Watt. Selain itu
terdapat pula energi listrik dari angin dan micro-hydro yang juga
memiliki potensi yang dasyhat.
Sebagai
studi kasus, BNI terjun ke sektor ini melalui skema CDM (Clean
Development Mechanism) antara lain: Geothermal Power Plant 2 x 110 MW di
Wayang Windu Jabar, Sibayak Sumut 11 MW, Patuha Jabar 60 MW dan Hydro
power 3 x 65 MW di Poso. Menurut data Pertamina, pembangkit geothermal
yang sudah terpasang di Indonesia baru mencapai 807 MW. Dengan kata
lain, potensi bisnisnya masih sangat besar sekali bagi perbankan.
Mengapa? Karena pembangkit listrik tenaga panas bumi hampir dikatakan
zero waste, cash-flow perusahaan terjamin karena pasokan listriknya
bersifat sustainable yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh PLN melalui
skema PPA (Power Purchase Agreement) dalam sistem inter-koneksi listrik.
Begitu
pun dalam hal pengumpulan dana pihak ketiga, perbankan dapat membuat
kreasi tabungan hijau untuk kalangan komunitas lingkungan, para pelajar,
pramuka dan mahasiswa sebagai target market berbasis lingkungan. Selain
itu penyediaan layanan perbankan seperti paperless, e-billing,
e-banking merupakan jenis service yang turut mengurangi tingkat konsumsi
kertas. Di samping itu gaya hidup hijau harus menjadi bagian dari
keseharian green bank seperti penggunaan lampu hemat energi di
banking-hall, pengurangan carbon foot print untuk perjalanan dinas
pegawai, penyediaan tanaman hidup dalam ruangan kerja, print kertas
bolak-balik, penyediaan tempat sampah yang spesifik (basah, kering,
plastik-kertas). Selain itu, bank perlu mempengaruhi kalangan vendor dan
supplier-nya agar menerapkan prinsip sustainability dalam berbisnis
dengan bank tersebut.
Menuju
green banking butuh keseriusan dari seluruh pemangku kepentingan di
negeri ini tak terkecuali regulator (BI). Selain komitmen yang kuat dari
jajaran eksekutif bank, perlu ditambah dengan internalisasi yang
optimal untuk seluruh pegawainya. Dengan demikian bank yang hijau
mendapatkan keuntungan yang sustainable baik secara komersial maupun
secara ekologis. Niscaya green bank adalah adaptasi yang paling pas
dalam perubahan iklim!
*) Penulis: Leonard T.Panjaitan, Anggota Corporate Sustainability Team (CST) Bank BNI – Kantor Besar Jakarta. Tulisan adalah pendapat pribadi.
Ref:
wargahijau
Best regards,
H.Asrul Hoesein (085215497331)
Owner
TrashGoogleBlogs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.