Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia
di dunia (Kompas, 2/7/2008). Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang
untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan
pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.
Di
Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan
Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya
sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global
dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.
Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal
dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang-
barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan
pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi.
Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan
Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang
sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan
Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan
emisi karbon!
Kampanye yang dilakukan berisi hal
keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang
dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa
pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya
jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas
menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.
Contoh
yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan
tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan
bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang
dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus
keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses
pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik
Bangunan.
”Rakyat tidak akan bisa melihat apa
keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari
pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa
berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor
Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam
perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.
Prinsip
pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and
carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai
biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat
efisien mendapatkan insentif.
”Kami menerapkan
pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang
tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari
jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai
selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar
25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara
signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1
kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.
Dengan
Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan
penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen
ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak
per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah
setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010
peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat
wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau”
atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy
Authority.
Bangunan yang bersertifikat dengan
berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua
yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya
operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah,
”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan
bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa
depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”
Rumah hijau Charlotte
Menyusul
kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse,
kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan
kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga
Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah
pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi
penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens
Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlot- te.
Keluarga
dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari
sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara
panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak
terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk
memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru
telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi
batang-batang besi di dalam rumah.
Selain itu,
penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan
listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela
dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi
dari Swiss.
Penghematan air tanah dilakukan dengan
menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah.
”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci
piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci
juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas
ibu dari Andrea dan Jonas ini.
Dengan membangun
rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui
biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun
rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp
6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya
pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta),
lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk
penggunaan listrik.
”Kalau kita mau bumi kita
tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan
kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas
Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.
Oleh: Brigitta Isworo L
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/23/04104765/dari.rumah.menahan..pemanasan.global
Best regards,
Owner Posko Hijau Google Blogs
Print this page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.