|
Sampah Pasar Tradisional.rul |
by: H.Asrul Hoesein
(Pendiri GIH Foundation)
Diketahui, kini makin sulit mendapatkan lokasi bagi pembuangan sampah, tanpa adanya penolakan (resistensi) penduduk sekitar jalan akses maupun tempat tinggal warga di sekitar rencana lokasi bagi pembuangan sampah skala suatu kota, apalagi, skala regional antar kota. Kecuali bagi kepentingan pengelolaan sampah sendiri atau masing-masing, semua orang pada dasarnya tidak mau bersentuhan, bahkan, melihat sampah orang lain. Makin luas skala pengelolaan sampah, akan makin besar pula penolakan (resistensi) masyarakat. Makin jauh sampah berpindah, akan makin banyak pihak memusuhinya, makin besar biaya angkutnya dan makin besar pula sebaran polutannya.
Dari pemahaman akan karakter diatas, prinsip pengelolaan sampah yang paling memiliki kelayakan secara sosial, teknik dan lingkungan, adalah pengelolaan terdekat dengan sumber timbulnya sampah, misalnya, yang kini makin banyak berdiri Instalasi Pengelolaan Sampah Kota (IPSK). Sistem pengelolaan ini merupakan solusi pengolahan sampah yang sangat efektif (oftimalisasi fuksi TPS), bermaksud memotong mata rantai distribusi sampah dari TPS ke TPA. |
IPSK Skala Komunal TPS/TPA.rul |
Dengan pendirian IPSK, memiliki tempat sampah terpilah yang berfungsi sebagai pengumpul (kolekting) sampah bernilai ekonomi (jenis plastik, logam, kain, kemasan bahan daur ulang) sekaligus sarana bagi olah sampah organik menjadi kompos. Dengan sarana itu, sampah jenis anorganik (plastik, kertas, logam, kain) akan berada dalam keadaan bersih, sehingga layak di daur ulang. Dengan IPSK, memang belum semua sampah bisa diolah dan didayagunakan, masih ada sampah (sisa bahan B3, waste un-recycle, sampah medis dari umah sakit dan klinik). Jenis sampah katagor B3 ini memerlukan penanganan khusus. Jenis sampah ini, dibakar menggunakan incenerator, namun jumlahnya hanya 5 hingga 10 % saja. Namun, IPSK sebagai sarana pengelolaan sampah di sumber timbulnya, memiliki prospek dijadikan strategi dalam upaya tuntaskan masalah sampah di kota.
Alat mesin utama dalam suatu IPSK, sebagaimana diketahui komposisi sampah dominasi jenis organik, adalah komposter. Kini komposter memiliki katagori skala rumah tangga (individual) serta rotary kiln skala komersial dengan kapasitas mulai 3000 liter/batch/ unit/5 hari hingga kapasitas 6 m3/batch/unit/5 hari.. Berbagai tipe RK, dapat dipilih mulai model manual (RKM 1000L), menggunakan elektro motor RKE-1000L, atau dilengkapi penggerak (engine) seperti RKE 3000L maupun kapasitas besar RKE 2000L. Kapasitas mesin rotary, mulai 3 m3/ batch, sebanyak 5 unit untuk bergiliran dan kontinyu melakukan pengolahan setiap hari, sudah memenuhi kelayakan untuk dioperasikan secara komersial. Instalasi bisa ditempatkan di dekat Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah, pasar induk dan pasar sayuran, fasilitas umum suatu lingkungan perumahan, sekitar dapur hotel dan restoran, di lingkungan kantin pabrik dengan karyawan mulai 500 orang/ hari, ditempatkan sebagai fasilitas pembuatan kompos di kebun dan usaha peternakan penimbul limbah (feces, urin ternak, sisa pakan), serta sekolah dan sarana peribadatan. Instalasi bisa juga dipindah sesuai keperluan (mobile).
IPSK, dengan kelengkapan alat mesin Rotary Klin, akan memberi pendapatan dari penjualan pupuk hayati ataupun kompos padat dan pupuk organik cair (POC) bagi siapapun yang ingin memanfaatkan dan mengelola sampah. Di perkotaan, dengan makin banyakt penimbul sampah mengalami masalah dengan layanan pemerintah kota dalam pengambilan sampahnya, IPSK memberi solusi kepada entitas penimbul sampah mengelolannya secara mandiri. IPSK juga memberi dukungan bagi hadirnya peluang usaha. Usahawan (UKM, koperasi/ yayasan) bisa menjadi rekanan jasa kebersihan maupun mengelola produksi kompos dan pupuk cair. IPSK bisa menjadi alternatif atas makin terbatasnya intitusi pelayanan publik, pemerintah kota, yang seringkali sulit diandalkan kepastiannya dalam pengangkutan sampah.
Beberapa contoh penggunaan skala instalasi dengan menggunakan Rotary Kiln ini antara lain Mc Dermott Indonesia Batam, Medco Energy Kaji Sumatera Selatan, Gudang Garam di Dangdangan Kediri, Panasonic PMI Bogor, Panasonic KIIC, LNG Badak di Bontang, PT Antam Halmahera Maluku, PT. Bridgestone, PT Pupuk Kaltim Tbk, Yayasan Itikurih Kab Bandung, Dinas Lingkungan Hidup Majalengka, Dinas Lingkungan Hidup Bekasi, Bapedalda Donggala Sulawesi Tengah, Dinas Kebersihan Prov Maluku, Cipta Karya Karawang dan LIPI Subang, Rutan dan LP di Jakarta Bandung dan Surabaya, BLH Manokwari, Kukje Sangyo Papua dan pengusahaan secara komersial di Kutai Barat, Perusahaan perkebunan di Bengalon dan Balikpapan, Perusahaan PMA Korea di Papua, Komplek militer KPAD Gegerkalong Bandung, dll
Model IPSK dengan teknologi tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan investasi model TPA. Menurut Kasubdit Dirjen Tata Kota dan Pedesaan (Investor Daily, 24-8-2004) :” Untuk membangun Tempat Pembangunan Akhir (TPA) sampah dikota berpenduduk 250 ribu jiwa, diperlukan dana Rp 23 miliar per tahunnya”. Menurut Kasubdit wilayah Barat II Dirjen Tata Perkotaan dan Pedesaan Depkimpraswil Bambang Purwanto, dana tersebut untuk pengadaan lahan, pengadaan alat berat, Konstruksi TPA, dan operasi, juga dibutuhkan untuk pemberian gaji karyawan. Dana tersebut seharusnya tidak hanya dari APBD Kota/ Kabupaten. Namun, perlu juga dari APBD provinsi dan APBN.
Peluang penumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja bagi suatu wilayah, pada contoh suatu kota kecil dengan 250.000 penduduk sebagaimana diatas, akan menghasilkan sekitar 200 ton/hari. Dengan 200 ton timbulan sampah/ hari, dapat dikelola di sumber timbulnya oleh 200 lokasi IPSK dengan kapasitas olah 1 ton/batch. Jika setiap entitas IPSK, dengan besaran investasi, misalnya mulai Rp 100 juta/ IPSK, total investasi Rp 20 milyar atau setara bagi pembukaan TPA berikut sarana angkutan, dan kontainer sebagaimana analisa Ditjen Tata Kota Perkotaan dan Pedesaan diatas.
Makin sulitnya mendapatkan lokasi TPA dekat dengan sumber sampah suatu kota, serta akan makin mahalnya mobilisasi sampah, seiring dengan kenaikan BBM dan pemeliharaan sarana angkutan, pilihan model pengelolaan sampah di dekat sumbernya dalam IPSK patut dipertimbangkan para pembuat kebijakan layanan publik atau para kepala daerah. Keterbatasan anggaran pembangunan juga bisa diatasi dengan pendirian IPSK secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat penerimaan masyarakat masing-masing. Dan, IPSK juga bisa diserahkan sebagai entitas usaha, menumbuhkan peluang kepada warga masyarakat mengelolanya secara mandiri. Karena, kerjasama pengelolaan sampah dengan badan usaha dan kelompok masyarakat, sesungguhnya sudah ada mekanisme baku. Contoh DKI Jakarta, sudah lama menyerahkannya kepada swasta, melalui pengaturan tipping fee atas setiap besaran volume sampah, yang diserahterimakan pengelolaannya kepada pihak ketiga*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.