Negara Harus Mengadopsi Kaidah Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
“Pemberian politik pengakuan negara terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat dapat dilakukan dengan sepenuhnya mengadopsi pola pengelolaan tradisional sumber daya kelautan dan perikanan yang telah dipraktekkan masyarakat adat sejak abad ke-XVI. Praktek ini terbukti arif terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan kelangsungan hidup sumber daya alam yang dikandungnya. Olehnya, sudah semestinya negara mengadopsinya dalam tata hukum pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional. Inilah representasi politik pengakuan negara,” jelas Abdul Halim, Koordinator Program KIARA di sela-sela lokakarya.
Kearifan tradisional masyarakat adat, seperti Sasi di Pulau Haruku, Maluku Tengah; Ola Nub di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Mane'e di Sulawesi Utara; Awig-awig di Nusa Tenggara Barat; Semah Laut di Pulau Bengkalis, Riau; Parompong di Sulawesi Selatan; dan Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam, menyimpulkan adanya keterhubungan antara manusia dan alam. “Keterhubungan ini mengandaikan pentingnya merekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang telah dijalankan. Saat ini, ekspansi pembangunan tak lagi menempatkan bumi, air, dan udara beserta sumber daya alam yang dikandungnya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Dalam pada itu, keseimbangan ekosistem laut diacuhkan dan keberadaan masyarakat adat dipinggirkan,” tambah Halim.
Peminggiran masyarakat adat ini erat terkait dengan konflik kepentingan antardepartemen teknis pelaksana pembangunan. Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI M. Teguh Surya mengatakan, “Apa yang dikembangkan secara turun-temurun oleh masyarakat adat harus diintegrasikan dalam tata laksana pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab, baik terhadap manusia maupun lingkungan hidup. Olehnya perlu dikembangkan tata kehidupan bersama yang memakai pendekatan bioregional terhadap ekosistem pesisir”.
Hal lain yang luput dari perhatian negara adalah dipinggirkannya pengetahuan lingkungan hidup lokal, sejak dari kurikulum pendidikan hingga muatan kebijakan pusat-daerah. “Kebanyakan pelaku pencemaran laut berasal dari daerah lain, baik domestik maupun asing, bukan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lokal. Pada titik ini, perlu kiranya negara memperkuat kaidah adat dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan,” ujar Dedy Ramanta, Sekretaris Nasional KNTI.
Dalam hal penguatan kapasitas organisasi masyarakat adat ini, “Pemerintah harus menegasi kepentingan kelompok dan sektoralnya. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan kluster perikanan bukanlah jalan pemberian politik pengakuan terhadap masyarakat adat,” tutup Halim.***
Informasi selanjutnya, silakan menghubungi:
Abdul Halim, Koordinator Program KIARA: +62(0)815 53100 259
Dedy Ramanta, Sekretaris Nasional KNTI: +62(0)813 1491 9254
Muhammad Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI: +62(0)813 7189 4452
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri sumbang Saran Untuk Indonesia Hijau, Terima kasih atas Kunjungan dan Komentarnya, Sukses untuk Anda...Salam Hijau Indonesia.